Waspada Faham Wahabi

on Minggu, 18 Maret 2012

Beredarnya buku-buku karya H. Mahrus Ali di berbagai wilayah Indonesia akhir-akhir ini benar-benar meresahkan umat Islam. Otomatis ini menjadikan fitnah besar bagi kaum Nahdliyyin dan bias mengancam persatuan dan kesatuan umat Islam di Indonesia, bahkan bisa mengancam eksistensi Indonesia sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang menganut ideology Pancasila dan berazaskan Undang-undang Dasar 1945. Atas dasar ini, saya bersama kawan-kawan yang tergabung dalam grup SARKUB melakukan silaturrahim ke rumah kediaman H. mahrus Ali di Tambaksumur Waru Sidoarjo untuk meminta penjelasan langsung mengenai buku-buku hasil karnyanya yang meresahkan dan menyesatkan mesyarakat itu.
Dalam silaturrahim ini kami sempat mengambil foto secara rahasia lewat HP untuk dijadikan data dan bukti yang valid. H. Mahrus Ali tidak mau difoto dan menghukumi haram.  Di sana kami sempat berdialog dan mengajukan beberpa pertanyaan kepada H. Mahrus Ali, termasuk masalah penggunaan istilah “Mantan Kyai NU” di setiap bukunya. Ternyata jawabannya, penggunaan istilah “Mantan Kyai NU” itu bukanlah dari keinginan H. Mahrus Ali (Wahhabi tulen) sendiri. Akan tetapi, istilah itu merupakan keinginan dan hasil rekayasa dari penerbit La Tasyuk yang menerbitkan buku-buku karangannya. Hal ini dilakukan dengan tujuan, agar buku-buku tersebut best seller di pasaran. Pada hakikatnya buku-buku tersebut merupakan suatu pelecehan dan penghinaan terhadap eksistensi NU di forum nasional maupun internasional.

Dengan demikian, kami meminta langsung kepada H. Mahrus Ali dengan sejujurnya untuk membuat pernyataan mengenai istilah “Mantan Kyai NU” yang merupakan bukan pilihannya sendiri sebagai klarifikasi agar tidak menjadi fitnah berkepanjangan di kemudian hari. Jadi dalam hal ini penerbit La tasyuk bersalah secara hokum. Begitu pula dengan H. Mahrus Ali. Oleh karena itu, pihak NU harus menuntut dan menyeret mereka ke pengadilan demi tegaknya hokum di Indonesia. Kalau dibiarkan saja, pasti fitnah yang ditimbulkan oleh penerbit La Tasyuk dan H. Mahrus Ali akan semakin berkobar saja dan dapat mengancam kewibawaan NU, bahkan bias merugikan bangsa.
Adapun mengenai tulisan-tulisan H. Mahrus Ali di setiap bukunya, semuanya itu merupakan pengkajian dan pembahasan yang tidak ilmiah dan mengandung ketidakbenaran, karena tidak disertai dengan dalil-dalil yang kuat dan penjelsan-penjelasan yang ilmiah secara keilmuan. Hanya saja dalil-dalil yang diambil olehnya baik dari Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW. hanyalah merupakan hasil terjemahan secara tekstual atau letterleg saja sehingga sama sekali tidak mengenai sasaran yang tepat.  Bahkan dalam mengartikan ayat-ayat suci Al-Qur’an yang di sana terdapat asbabun nuzul (sebab-sebab turnunnya ayat suci Al-Qur’an), ia sangat anti sekali dengan asbabun nuzul. Menurut dia, asbabun nuzul itu dipenuhi dengan sanad-sanad (sandaran-sandaran hokum) yang dla’if atau lemah.
Selain itu ia sangat anti sekali terhadap kitab-kitab karangan Imam Syafi’i. dia hanya menggunakan tafsir yang dilakukan oleh sahabat Nabi SAW. dengan demikian, pengkajian Al-Qur’an yang ia lakukan merupakan suatu kekeliruan dan penyimpangan yang besar, karena tidak berdasarkan ilmu tafsir Al-Qur’an dari para ulama’ yang tidak diragukan lagi kredibilatas kelimuan mereka. Padahal ilmu tafsir sangat penting sekali dalam memecahkan setiap permasalahan hidup (problem solving) terutama yang berkaitan dengan ayat-ayat mutasyabihat dan ayat-ayat kauniyah.
Selain itu, dia menganggap bahwa ilmu hisab itu bid’ah dlalalah dan yang paling benar hanyalah ilmu rukyat semata dalam penentuan awal bulan Qamariyah seperti awal Ramadhan, Syawal, dan Dzul-Hijjah. Bahkan dia menyalahkan NU, Muhammadiyah, PERSIS, dan ormas-ormas Islam lainnya. Dalam masalah jatuhnya waktu wukuf di Arafah Saudi Arabia dia mengikuti keputusan pemerintah Saudi Arabia. Alasannya pemerintah Saudi Arabia itu menggunakan rukyat yang didukung dengan teropong canggih dari Maroko.
Saya berkata kepadanya; “Bagaimana kita dapat melakukan rukyat (melihat hilal) dengan baik dan benar kalau tanpa didukung dengan data hisab yang akurat?” Karena rukyat yang baik harus dilakukan hisab terlebih dahulu. Ia kemudian terdiam tidak bias menjawab. Rukyat tanpa data hisab yang akurat sudah barang tentu akan terjadi kesalahan dalam merukyat. Karena untuk mengetahui posisi dan ketinggian hilal itu harus menggunakan ilmu hisab. Begitu pula lamanya hilal di atas atau di bawah ufuk itu hanya bias diketahui dengan ilmu hisab. Adapun lamanya hilal di atas ufuk hanya sekitar beberapa menit atau detik saja, tergantung hilalnya.
Kemudian saya mencoba menjelaskan kepada H. Mahrus Ali bahwa “Ilmu hisab itu ibarat alamat lengkap seseorang, sedangkan rukyat itu ibaratnya rumahnya. Bagaimana kita bisa menemukan rumah seseorang kalau tanpa adanya alamat jelas? Coba bapak pikirkan baik-baik! Saya datang dari jauh dan ingin ke rumah Bapak, apakah saya bias sampai ke rumah Bapak kalau saya tidak mengetahui alamat rumah Bapak yang jelas?” Kemudian dia menjawab “Oh iya ya pasti sampeyan tidak bias menemukan alamat rumah saya”.
Itulah penjelasan saya kepada H. Mahrus Ali dan dia pun mengakuinya secara jujur. Kemudian saya bertanya lagi kepada dia, “Apakah Bapak bias ilmu hisab?” Dia pun menjawab; “Saya tidak bisa samasekali ilmu hisab”. Saya semakin heran, kok mengapa ia menulis ilmu hisab di bukunya yang berjudul “Amaliyah Sesat di Bulan Ramadhan”. Bahkan sampai mencela ulama NU dan Muhammadiyah serta Kementrian Agama Republik Indonesia. Dengan santai ia menanggapi; “Oh, itu saya ambil dari internet saja”.
Itulah pengakuan sejujurnya H. Mahrus Ali kepada saya. Karena saya berusaha meyakinkan dan meluruskan pemahaman dia yang salah tentang ilmu hisab. Wal hasil, dia tidak faham masa sekali tentang ilmu hisab dan rukyat. Ternyata tulisan dia tentang hisab itu hanyalah merupakan copy paste dari situs google saja.
Adapun dalam masalah penentuan Ramadhan, Syawal, dan Dzul-Hijjah di Indonesia dia menyerahkan sepenuhnya kepada NU. Dari sini kita fahami bahwa dia tidak konsisten dengan pendiriannya semula, padahal secara keilmuan NU itu menggunakan perpaduan antara hisab dan rukyat. Tapi mengapa dia menganggap ilmu hisab adalah bid’ah dlalalah alias sesat.
Bukan hanya itu saja H. Mahrus Ali pun sama sekali tidak paham tentang mantiq (logic). Bagaimana bias memahami isi Al-Qur’an dan Hadits kalau dia tidak paham tentang ilmu tersebut. Kita tahu bahwa ilmu mantiq tersebut salah satu pendukung untuk membongkar rahasia Al-Qur’an dan Hadits. Begitu pula ketika ditanya tentang tauhid pun pemahamannya sangat dangkal sekali, sehingga apa yang dia pahami tidak sesuai dengan pemahaman aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah.
Dengan demikian, pemahaman keilmuaan H. Mahrus Ali benar-benar sangat diragukan tentang kebenarannya karena tidak sesuai dengan fakta-fakta keilmuan yang berlaku di dalam ajaran agama Islam. Itulah ajaran Wahabi yang dianut oleh H. Mahrus Ali untuk menyesatkan umat Islam di Indonesia. Memang H. Mahrus Ali itu otaknya sudah dicuci oleh Wahabi ketika dia belajar dahulu di Saudi Arabia selama 8 tahun. Semoga Allah SWT. senantiasa mengukuhkan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah yang selama ini kita pegang. Amin. Wallahu A’lam bis Shawab.
*KH. Thobary Syadzily: Pengasuh Pondok Pesantren Al-Husna Priuk Jaya Tangerang, alumni Pesantren Tebuireng tahun 1988-1993. Ketua Lajnah FAlakiyyah PWNU Propinsi Banten, Anggota Tim Komisi Fatwa dan Hukum MUI Kota Tangerang Banten

0 komentar:

Posting Komentar

ChAt Yoex.....