NU vs PKS vs Salafi vs Muhammadiyah....( "Vs" . . . . yang benerr ????? )

on Selasa, 14 Desember 2010


Latar Belakang Berdirinya
Nahdlatul Ulama (selanjutnya disingkat dengan NU) didirikan oleh beberapa ulama pesantren yang dipelopori oleh KH Hasyim Asy’ari dan Kiai Haji Wahab Hasbullah. Organisasi ini berdiri pada tahun 1926. Organisasi ini memiliki keunikan tersendiri dibandingkan organisasi pada umumnya. Sebab, NU selain sebagai Jam’iyyah juga sebagai jama’ah. Artinya, begitu banyak orang mengaku bahwa dirinya itu NU tanpa mengetahui seluk-beluk NU. Mereka merasa menjadi warga NU karena berkultur NU, seperti mengadakan tahlilan, membaca doa qunuth Shubuh, Tarawih duapuluh tiga, dan sebagainya. Tidak heran jika media masa sering menyebutkan bahwa warga NU itu lebih dari empat puluh juta jiwa.
Keberadaan NU sendiri amat erat hubungannya dengan awal mula penyebaran Islam di Indonesia. Dengan demikian, seseorang tidak bisa memahami NU secara utuh, terutama kronologi sejarahnya tanpa mempelajari masuknya Islam di Indonesia.
Menurut pakar sejarah, sebenarnya Islam masuk ke Indonesia pada abad VII, meskipun jika didasarkan pada bukti tertulis Islam masuk ke Indonesia pada abad XII Masehi. Masalah itu tidak perlu diperdebatkan di sini. Yang harus dipahami bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan, bukan jalur militer sebagaimana di Eropa. Para penyebar Islam di Indonesia adalah para pedagang dari Persi, Gujarat,  Cina dan lain sebagainya.
Satu ciri pokok dalam dunia perdagangan adalah adanya tawar-menawar. Sebuah barang ditawarkan seharga tiga juta lima ratus bisa ditawar dua juta lima ratus dan nanti hasil akhirnya barang itu dihargai dengan tiga juta. Begitulah kebiasaan dalam dunia perdagangan. Karena Islam disebarkan melalui jalur perdagangan, maka para dai dan muballigh Islam pada masa itu pun juga melakukan tawar menawar dalam menyebarkan agama Islam. Tujuannya tidak lain adalah agar masyarakat Nusantara yang saat itu beragama Hindu dan Buda  bisa dengan suka rela memeluk agama Islam.
Contoh kongkrit dalam tradisi tawar menawar ini adalah dalam pelaksanaan Ibadah Qurban. Dalam kitab-kitab Fiqih disebutkan bahwa binatang Qurban sapi, kambing, dan unta. Akan tetapi, masyarakat Kudus menggunakan kerbau sebagai ganti dari sapi. Menurut cerita, dulu Sunan Kudus melakukan hal itu dengan tujuan agar orang-orang Hindu tidak membenci Islam. Sebab dalam agama Hindu, sapi adalah binatang yang dimuliakan. Jika umat Islam menyembelih sapi, maka mereka bukannya masuk Islam tetapi akan mengadakan perlawanan terhadap dakwah Islamiyah.
Contoh lain dari tawar-menawar para dai dulu adalah dalam menghadapi adat masyarakat setempat. Masyarakat Nusantara pada zaman dahulu suka melakukan sesajen untuk penolak balak. Ketika Islam masuk, sajen-sajen itu diubah menjadi kenduri. Sesajen yaitu makanan bukan dipersembahkan untuk makhluk halus tetapi disedekahkan kepada masyarakat. Mantra-mantra animismenya diubah dengan doa-doa berbahasa Arab.  Jadi, masyarakat tidak merasa kehilangan tradisinya.
Tradisi penghormatan kubur pra Islam setelah kedatangan Islam diubah menjadi ziarah kubur. Karena itu para ulama kemudian mengadakan acara ziarah kubur, terutama kepada ke kubur orang-orang shalih, para ulama yang telah menyebarkan agama Islam. Jika sebelum datangnya Islam orang datang ke kubur untuk meminta restu pada penghuni kubur, maka setelah Islam datang, orang ke kubur untuk mendoakan penghuni kubur.
Para penyebar agama Islam, selain para pedagang adalah para shufi atau ahli tashawuf. Banyak di antara mereka yang ahli thariqah (selanjutnya disebut tarekat). Ada tarekat Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Rifa’iyah, Samaniyah, Satariyah, dan sebagainya. Acara-acara ritual seperti pembacaan Qashidah Barzanji, Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jaliani dan sebagainya menjadi santapan ritual masyarakat.
Dalam hal fiqih, mayoritas penyebar agama Islam bermadzhabkan Imam Asy Syafii tanpa menafikan ketiga madzhab yang lain. Dalam aqidah berkiblat kepada Abu Hasan Al Asy’ari dan Abu Mansyur Al Maturidi. Dalam tashawuf berkiblat kepada Syaikh Junaid Al Baghdadi, Al Ghazali, Ibnu ‘Athaillah As Sakandari dan sejenisnya. Meskipun demikian, ada sebagian ahli tashawuf yang berkiblat kepada Al Hallaj seperti Hamzah Fansuri dari Sumatra dan Syekh Siti Jenar dari Jawa. Namun karena ajaran keduanya dipandang oleh para ulama membahayakan umat, maka mereka melarang umat mengikuti keduanya.
Upaya menghidupkan tradisi-tradisi di atas, dilakukan oleh dunia pesantren (baca pesantren tradisional). Ketika tahun 1900 an pemerintah Arab Saudi mau menyatukan dunia Islam dengan madzhab mereka, Wahabi. Wahabi adalah madzhab yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab yang bertujuan untuk memurnikan aqidah dan mengembalikan hukum untuk berpegan kepada Al Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad saw tanpa harus bermadzhab. Bahasan mengenai Wahabi akan dikupas di belakang ketika membahas tentang Salafi yang saat ini sangat digandrungi oleh generasi muda kita.
Program Wahabi yang dipropagandakan oleh Pemerintah Arab Saudi di atas disambut baik oleh berbagai organisasi yang ada di Indonesia, salah satunya adalah Muhammadiyah. Melihat hal ini para ulama pesantren ingin menyalurkan aspirasinya agar pemerintah Arab Saudi tidak serta merta menghancurkan faham keagamaan yang telah ada. Akhirnya mereka mendirikan organisasi yang kemudian diberi nama Nahdlatul Ulama. Organisasi tersebut berdiri pada tahun 1926 M.

Nahdlatul Ulama dan Pesantren Salafnya
Keberadaan NU tidak bisa terlepas dari pesantren. Keduanya seperti dua sisi mata uang logam yang mana satu dengan yang lainnya saling membutuhkan. NU yang menghidupkan pesantren dan pesantren memang yang menyebarluaskan NU. Karena itu di dunia NU Kiai dan Gus memiliki posisi yang sangat terhormat. Bahkan pesantren NU tak ubahnya seperti sebuah kerajaan kecil dengan Kiai sebagai raja sedangkan Gus sebagai para pangerannya.
Ada perbedaan menyolok antara pesantren NU dengan pesantren yang lain. Dalam pesantren NU, seorang kiai memiliki otoritas yang sangat tinggi. Seorang santri akan sami’naa wa atho’naa kepada kiainya melebihi yang lain. Bahkan ketika kiai sebuah pesantren itu memiliki pendapat yang berbeda dengan PBNU sekalipun, santri akan lebih taat kepada kiainya daripada kepada PBNU.
Penghormatan santri NU terhadap kiai juga berbeda dengan santri di pesantren non NU. Di pesantren NU, seorang santri akan sangat hormat kepada kiainya. Bahkan banyak di antara mereka yang untuk berjalan di depan kiainya pun tidak berani. Mereka lebih memilih untuk menunggu kiai pergi atau mengambil jalan memutar meskipun jaraknya lumayan jauh. Tentu berbeda dengan santri dari pesantren Muhammadiyah, PKS, Salafi atau yang lainnya. Sebab penghormatan di pesantren-pesantren non NU kepada ustadnya hanya setingkat lebih tinggi sedikit dengan penghormatan seorang mahasiswa kepada dosennya. Bahkan para Ustad non NU sering menganggap bahwa di dalam NU ada kultus individu di mana setiap santri akan mengkultuskan gurunya.
Sebenarnya penghormatan santri kepada kiai di NU bukan tanpa dasar. Mereka mendasarkan sikapnya kepada kitab monumental karya Syaikh Zarnuji yang berjudul Ta’limul Muta’allim. Kitab tersebut mengupas secara detil bagaimana adab santri kepada gurunya. Dan kitab tersebut juga merujuk kepada hadits Nabi, khabar shahabat, dan perilaku para ulama besar terhadap guru mereka. Jadi, adalah naif jika mencium tangan guru saat berjabat tangan dikatakan sebagai kultus individu. Justru yang perlu dikritik adalah sikap modern yang melihat seorang guru mengaji hanya seperti seorang dosen yang sekedar transfer of knowledge.
Sebenarnya kepatuhan santri NU kepada kiainya selain disebabkan karena ajaran kitab seperti Ta’lim dan Ihya juga disebabkan karena perjuangan sang kiai. Kebanyakan kiai NU mendirikan pesantren karena memang tuntutan santri. Artinya, karena banyaknya santri yang ingin mengaji, maka kiai membuat sebuah pesantren. Uang yang digunakan untuk mendirikan pesantren adalah uang kiai ditambah donatur suka rela. Tidak ada berbagai pungutan dan iuran wajib bagi santri di NU. Bahkan seorang santri yang tidak punya uang sama sekali pun bisa mengaji di pesantren dan tinggal numpang di rumah kiai dan kebutuhan hidup ditanggung kiai. Jadi, para kiai memang benar-benar jaahaduu bi amwaalihim wa anfusihim (mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka) bukan jaahaduu li amwaalihim wa anfusihim (berjuang demi harta dan jiwa). Karena itu jugalah para santri begitu hormat kepada kiai. Ini yang tidak didapatkan di pondok-pondok non NU pada umumnya. Sekarang banyak berdiri pondok pesantren yang membuat pondok seperti membuat kolam. Pondoknya sudah megah berdiri, tetapi tidak memiliki santri. Sehingga mereka menyebar brosur, leaflet, pamphlet, dan sebagainya. Selain itu, biaya yang mahal membuat seorang santri merasa seperti di kampus di mana membayar adalah kewajiban sedangkan mengaji adalah hak. Yang namanya hak itu boleh diambil boleh juga tidak. Artinya, mengaji itu ya boleh datang juga boleh tidak. Yang penting mbayar.
Pendidikan di pesantren NU sendiri lebih mengarahkan kepada keshalihan daripada kepada kepandaian, apalagi kepandaian dalam berretorika. Maka mengaji di pesantren NU tidak bertarget. Seorang santri bisa saja mengaji kitab Taqrib karya Abu Syuja’ lima kali selama di pesantren. Tidak ada metode pengajaran yang ndakik-ndakik­ di NU. Tidak ada laporan perkembangan nilai dan sebagainya, apalagi nilai katrolan. Mengapa? Karena semua dilakukan secara alami. Tidak jarang seorang santri sebelum mengaji kitab Alfiyah Ibnu Malik diwajibkan untuk menghafalkannya terlebih dahulu. Dan seorang santri tidak bisa mengikuti pelajaran kelas atas kalau dia belum faham pelajaran kelas bawah. Seorang santri belum akan diajarkan Tafsir, Manthiq, Balaghah, Mushthalahul Hadits, dan disiplin ilmu-ilmu sejenis sebelum ia faham betul Nahwu Sharaf.
Ini berbeda dengan pesantren-pesantren non NU yang mengedepankan tsaqafah atau wawasan. Santri kadang dituntut untuk belajar Tafsir, Mushtholahul Hadits, Ulumul Qur’an, Ushul Fiqih, padahal mereka huwa huma hum saja belum hafal. Seseorang yang baru masuk di pesantren NU mungkin hanya akan belajar ilmu tajwid, fiqih dasar (Safinatun Najah, Sulam Taufiq, Taqrib), Aqidah (Aqidatul Awwam,  Jawahirul Kalamiyah dan sejenis), dan beberapa pelajaran dasar lain. Jika mereka sudah bisa mengikuti dengan baik, baru naik ke kitab-kitab yang lebih besar. Berbeda dengan pesantren non NU yang begitu masuk sudah disambut belasan materi kajian yang namanya mengerikan seperti Tafsir, Hadits, Ushul Fiqih, Sirah Nabawiyah, Ilmu Mushthalahul Hadits, Nahwu, Sharaf, Tahfizh, Ushul Dakwah, dan sebagainya. Eh, ternyata setelah dicek bacaan Al Qur’an saja masih kacau dan perlu pembenahan.
Biasanya di pesantren salaf NU tidak diajarkan ilmu-ilmu seperti retorika dan sebagainya. Jika sekarang yang seperti itu diajarkan karena memang ada pengaruh dari modernisme pesantren. Kiai mengajarkan demikian karena mereka mendidik santri sebagai ahli laku dan bukan ahli ngomong. Bahkan ada satu sindiran khusus bagi ahli pidato yang kebagusan pidatonya melebihi kebagusan akhlak dan moralnya, yaitu kiai Jarkoni. Iso ngujar/ngajar ora iso nglakoni. Artinya kiai yang bisa mengucapkan/mengajarkan tetapi tidak bisa melaksanakan. Ini tentu berbeda dengan pesantren lain yang menjadikan dakwah dan tabligh sebagai afdhalul a’malnya dengan berpegang pada hadits Ballighuu ‘annii walau ayah (sampaikan dariku meskipun satu ayat). Yang dengan menghafal satu ayat beserta terjemahnya sudah bisa menjadikan seseorang menjadi singa podium.
Tidak ada gading yang tak retak, begitulah kata pepatah. Tradisi pesantren seperti ini kadang disalahgunakan oleh sebagian orang. Di antara gus-gus ada yang menggunakan nama besar abahnya untuk kepentingan-kepentingan pribadi. Dan kadang kala kepatuhan santri kepada kiai kemudian digunakan untuk kepentingan-kepentingan politik baik oleh orang luar pesantren ataupun orang luar. Kiranya masih segar dalam ingatan kita setiap pemili banyak caleg mengunjungi pesantren-pesantren NU. Mengapa? Untuk memberikan sumbangan agar kiai bisa menggunakan suaranya untuk mempengaruhi ribuan santrinya. Satu amplop bisa mendapatkan lebih dari lima ribu suara. Tetapi ini tentu tidak berlaku di semua pesantren. Hanya oknum-oknum tertentu saja.

Modernisasi Pesantren NU
Dunia semakin lama semakin berkembang. Modernisasi pesantren pun dilakukan oleh sebagian pesantren NU. Adapun modernisasi yang dilakukan di antaranya adalah adanya kurikulum sebagaimana sekolahan. Bahkan ada pesantren yang sistem pengajarannya menggunakan SKS sebagaimana sistem dalam Perguruan Tinggi.
Modernisasi dalam pengajaran pesantren pun sekarang dilakukan. Santri tidak hanya membaca karangan-karangan para ulama zaman dulu tetapi juga membaca karya para ulama zaman sekarang seperti Dr. Yusuf Qardhawi dan yang lainnya.
Modernisasi juga dilakukan dalam hal administrasi. Kalau dahulu kiai menerima uang dari wali santri sak pawehe sekarang sudah ada berbagai macam iuran. Mengapa? Karena kebutuhan sekarang semakin lama semakin banyak. Dan yang demikian memang sudah lazim dilakukan. Yang penting, iuran tersebut tidak memberatkan wali santri. Masih jauh di bawah iuran sekolah-sekolah umum dan kejuruan.
Namun sekarang ada juga beberapa pesantren yang didirikan oleh ustad-ustad dari NU namun tidak menyebutkan afiliasinya kepada NU dan tidak mengatasnamakan NU seperti Darul Qur’an milik Ustad Yusuf Manshur yang menarik iuran luamayan mahal bagi kalangan menengah ke bawah. Beberapa tahun yang lalu iurannya $ 2000,- dan rencananya akan dinaikkan menjadi $ 5000. Dengan konsekwensi pesantren memberikan fasilitas lux untuk santri. Setiap santri memiliki lap top, kamar yang bersih, nyaman, dan indah, dan berbagai fasilitas lain yang istimewa. Tidak lagi satu kamar berduapuluh lima, tidak lagi satu WC untuk lima kamar sebagaimana pesantren gratisan yang dulu. Alasan lainnya adalah untuk subsidi silang. Sebab Darul Qur’an juga memiliki pesantren gratis yang untuk kalangan menengah kebawah. Mereka tidak diwajibkan membayar tetapi justru mendapat bantuan dari pesantren. Sebuah alasan yang rasional.  Dan pesantren seperti inilah yang sekarang diidolakan oleh banyak orang. 

NU dan Politik
Pada awalnya NU adalah organisasi sosial keagamaan. Akan tetapi dalam perkembangannya ia bersentuhan dengan ranah politik. Bahkan NU sendiri pernah menjadi Partai Politik pada masa Orde Lama. NU juga bergabung dengan Masyumi meskipun kemudian keluar dari partai tersebut. Pada masa Suharto dilakukan Fusi dan NU bergabung dengan Partai-partai Islam lain du PPP.
Dalam muktamarnya di Situbondo, NU menyatakan keluar PPP dan kembali ke khithahnya sebagai organisasi keagamaan. Sebenarnya keluarnya NU dari PPP saat itu juga merupakan suatu tindakan politik. Sebab akhirnya banyak kader NU yan masuk ke Golkar dan ada juga yang masuk ke PDI.
Ketika Orde Baru tumbang dan digantikan dengan Orde Reformasi, para ulama NU kemudian bermusyawarah untuk mendirikan partai politik sebagai wadah aspirasi warga NU. Hanya saja, partai politik tersebut tidak menggunakan nama NU sebagaimana ketika Orde Lama.  Ternyata ada beberapa partai yang lahir dari tuhuh NU, di antaranya PKB, Suni, PKNU, dan PNU. Namun di antara keempat partai tersebut hanya PKB yang eksis sampai sekarang.
Dalam masalah bentuk Negara, bagi NU NKRI sudah final dan tidak perlu diubah lagi. Pendapat ini berbeda dengan organisasi keagamaan yang lain seperti Tarbiyah dengan PKS nya dan HTI. Keduanya mengangkat tema “Khilafah” dalam politiknya. Hanya saja, HTI tidak sudi masuk ke ranah demokrasi sedangkan tarbiyah dengan PKS nya masuk ke ranah politik praktis. Sementara NU dan Muhammadiyah meskipun bukan organisasi politik namun keduanya memiliki cara pandang yang sama, yaitu menjadikan NKRI sebagai hasil final bentuk Negara Indonesia.
Dalam dunia politik saling memanfaatkan adalah sesuatu yang lazim. Dalam masa-masa Pemilu para politikus banyak mendatangi ulama, membantu pesantrennya, masih memberi amplop berisi beberapa lembar ratusan ribu kepada kiai. Mereka memohon doa, dukungan, serta bantuannya. Memohon doa artinya biar kiai mendoakannya bisa menjadi anggota dewan. Memohon dukungan agar kiai mengerahkan santrinya untuk memilih dirinya. Dan memohon bantuan agar kiai dan keluarganya menyontreng foto dirinya dalam pemilihan kelak.
Dalam situasi demikian sebagian dari kiai juga ada yang memanfaatkan. Bahkan sampai gerakan pemuda seperti Anshor dan Fatayat juga kemudian rajin mengadakan kegiatan. Tujuannya bisa mengambil dana dari caleg. Tentu ini tidak terjadi dalam tubuh NU saja, tetapi dalam tubuh lain meski dengan bahasa yang lain pula. Bahkan kadang yang lebih aneh lagi ada orang-orang yang sebenarnya anti NU tetapi jika hendak pemilihan sowan ke kiai NU dan mohon doa restunya. 
Dunia politik tidak jarang membutakan para tokoh NU. Mereka yang selalu ramah saat acara-acara NU bisa menjadi saling cemberut tatkala acara-acara politik.  Mereka bisa saling gasak gesek dan gosok. Dulu antara kader PPP dengan PKB bisa saling pelotot antara satu dengan yang lainnya. Tentu hal seperti ini tidak bagus.

Perbedaan Pendapat Di Kalangan NU
Jika NKRI memiliki satu semboyan Bhineka Tunggal Ika dari kitab Sutasoma, maka NU memiliki semboyan Ikhtilaafu ummatii rahmah (Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat). Dalil tersebut memang dinilai lemah oleh kalangan Salafi, bahkan dinilai sebagai hadits Maudhu’ sebagaimana dalam Kitab Laisa min Aqwaalin Nabi. Akan tetapi, ternyata semboyan tersebut bisa menyatukan NU meskipun mereka memiliki pendapat yang beragam.
Dalam NU, jangankan antara dua orang yang berbeda guru, bahkan antara guru dengan muridnya saja bisa terjadi perbedaan pendapat. Sebagai satu contoh, perbedaan pendapat antara KH Hasyim Asy’ari dan santrinya, KH Maksum Ali. Mbah Hasyim mengharamkan fotografi (baca=foto makhluk bernyawa) karena dikiaskan dengan menggambar yang bernyawa. Sedangkan Mbah Maksum Ali menyatakan foto itu tidak haram. Sebab foto tidak bisa dikiaskan dengan menggambar yang bernyawa karena dalam fotografi tidak ada upaya menandingi ciptaan Allah.
Masih ada banyak kasus perbedaan pendapat di antara para ulama NU, baik pada zaman dahulu maupun saat ini. Kadang kala para kiai NU seperti mau berantem ketika mereka silang pendapat. Namun ketika tiba waktu shalat, mereka saling dorong temannya untuk menjadi imam. Sebab seseorang yang maju sebagai imam tanpa mempersilakan orang lain terlebih dahulu terkesan sombong.
Permasalahan sering datang dari level santri. Mereka yang belum menguasai Ushul Fiqih dan hanya mengetahui Aqwaal (pendapat-pendapat) tanpa mengetahui dalilnya dan kaidah Ushul dan kaidah Fiqihnya. Mereka bisa berdebat sengit dengan santri lain gara-gara perbedaan fatwa kiai mereka masing-masing. Dan masing-masing akan merasa benar. Inilah realita yang terjadi di lapangan.

 Penulis : Syafii Masykur S.Ag, MA (Kandidat Doctor)

0 komentar:

Posting Komentar

ChAt Yoex.....